Bismillah

Bismi Allah Arrahman Arrahim

Disini kutuangkan segenap ketukan keyboardku. Semoga melaluinya, semakin tertebarlah keagungan Islam-ku

Sunday, May 10, 2009

Sebuah metamorfosis di puncak Gunung Panderman

"Take me to the magic of the moment

On a glory night

Where the children of tomorrow dream away

With you and me"

"Walking down the streat

Distant memories

Are buried in the past forever...."

Senandung gitarku membelah malam. Sendirian di tepi api unggun di puncak bukit Panderman, Batu Malang. Sore itu aku putuskan untuk memanjat gunung sendirian, karena teman-teman tampaknya sedang sibuk-sibuknya. Alhamdulillah, cuaca cukup cerah sehingga tanpa banyak kesulitan aku sampai di puncak gunung sebelum isya. Sejenak kudirikan tenda dome tempatku menginap malam ini. Dari kayu bakar yang kubawa kubuat api unggun yang cukup untuk menerangi kegelapan malam. Setelah sembahyang, kuhabiskan waktuku bergitar sambil menunggu matangnya ubi jalar dan jagung yang sedang kubakar. Gemerlap lampu rumah jauh di bawah sana membuat pemandangan di puncak Panderman sungguh indah.

Kupetik senar gitarku dan kunyanyikan lagu Wind Of Change dari Scorpion.. Bait-baitnya yang mengharapkan berakhirnya perang dingin seakan menyampaikan bahwa semua manusia itu saudara. Aku mendesah panjang, sambil memikirkan setiap rangkaian teks lagu tersebut. Seakan tercermin didalamnya rona kehidupanku. Memori masalalu dan masa sekarang berlintasan, ada pahit ada getir, kadang kurasa aku di awang-awang pintu surga tapi terkadang aku seolah hampir menginjak dasar neraka. Yang tidak kumengerti, betapapun keras usaha aku untuk melakukan sesuatu dengan baik bagi orang lain, hanya sedikit diantara mereka yang bisa menghargai. Yang lebih menyakitkan adalah ucapan-ucapan miring tentang aku yang keluar dari mereka yang aku bantu. Kenapa bisa begini? Padahal aku ingin sekali percaya pada kata teman, saudara, saudara seagama, keluarga dan sebagainya. Kenapa malah merekalah yang sering menjatuhkan aku? Apakah semua bentuk hubungan yang berdasarkan semua itu hanya impian? Sedangkan mereka yang tidak punya hubungan apa-apa denganku malah bisa menghargai pengorbananku sekecil apapun itu. Kadang, ketika mereka yang punya hubungan denganku datang meminta bantuan, terbesit niat buruk dalam hati untuk tidak memberi. Tapi, kasih sayang dalam nuraniku mengalahkan niat itu, meskipun aku tahu bahwa tidak semua pengorbanan berakhir kebaikan. Heeh, aku mendesah berat. Kuambil suiter wol dari tendaku untuk menutupi badanku yang mulai kedinginan. Luar biasa dinginnya malam begini di puncak Panderman, apalagi di bulan Februari seperti sekarang. Kuambil senterku, sejenak kulihat sekeliling kalo-kalo ada hewan. Kemudian aku kembali duduk diatas batang kayu yang menghadap ke kota Batu.

Rembulan yang enggan, mengintip di balik awan menambah syahdunya suasana. Kulihat lambu kendaraan bergerak dengan cepat. Begitu kecilnya. Apalagi penumpangnya, tidak bisa terlihat sama sekali. Barangkali, dalam pandangan Tuhan, manusia itu seperti aku melihat mereka saat ini. Tidak ada yang tinggi atau rendah, tidak ada cakep dan cantik. Semuanya sama. Pantas jika yang dinilai olehNya hanyalah iman dalam hati. Dan aku adalah salah satu diantara mereka yang tidak kelihatan itu. Kalau seperti itu, pantaskah kalau aku merasa sombong dengan sesuatu yang aku miliki hanya sesaat?

Gemercik api unggun memakan kayu, menyadarkanku dari lamunanku. Kuambil lagi beberapa batang kayu dan kumasukkan kedalam api. Sejenak kuperiksa nasib ubi jalar dan jagungku, dan ternyata sudah matang. Aku masuk kembali ke tenda untuk mengambil piring dan beberapa potong sosis. Setelah kupanggang sejenak, kuletakkan sosis tersebut pada piring dan diiringi dengan doa, kumulai makan. Alangkah nikmatnya makan malam kali ini, di puncak bukit, ditemani rembulan dengan melihat pemandangan yang indah plus perut yang keroncongan. Aku rasa kalau makan di rumah tidak akan senikmat ini, pikirku dengan tersenyum.

Usai makan, udara semakin dingin. Malam mulai merambat semakin gelap dan angin mulai kencang. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke tenda dan bersembunyi dalam sleeping bagku. Tapi aku belum bisa memejamkan mata. Aku sendirian mendaki bukit panderman untuk mencari solusi. Solusi atas berbagai masalah yang mendera batinku. Oleh karenanya, aku belum bisa tenang sebelum jawaban itu kuperoleh.

Teman-temanku bilang aku orangnya sabar dan periang. Aku tidak tahu, apakah itu adalah sifatku yang sebenarnya ataukah hanya sebagian dari topengku. Jika memang benar aku sabar, kenapa aku jarang merasakan buah kesabaranku dari orang-orang terdekatku? dan kalau aku memang periang, kenapa aku selalu harus menahan sedih dan getir dalam hati?

Katanya, kalau kita berkorban pasti akan berbalas kebaikan, kenapa yang aku rasakan adalah aku semakin diinjak dengan setiap pengorbanan yang aku lakukan? Bahkan sering yang kuterima adalah hinaan atas pengorbananku. Ataukah aku memang salah milih kepada siapa aku harus berkorban?

" Kalau engkau bersyukur, maka akan Aku tambahkan nikmatKu kepadamu. Tapi kalau engkau kufur (tidak bersyukur), maka azabKu amatlah pedih".

Sebuah firman Allah tiba-tiba terlintas di kepalaku. Ayat ini menunjukkan dengan tegas tindakan Allah kepada hambaNya yang tidak bisa bersyukur dan berterima kasih. Kucoba merenungi maknanya. Bukankah Allah itu maha welas asih dan sabar. Kenapa Allah bahkan berfirman soal azab atas hamba yang tidak bisa bersyukur.Bukankah tanpa syukur dan terima kasihnya seorang hamba, sifat Allah tidak akan berkurang sedikitpun? Mungkinkah karena nikmat dan rahmad yang Allah sampaikan kepada seorang hamba, senantiasa disampaikan dengan perantara sesuatu atau seseorang. Sehingga, menghargai dan bersyukur atas nikmat Allah yang dimanifestasikan oleh sang penerima dalam wujud ucapan terima kasih dan balas budi baik, itulah yang sebenarnya mencapai ke keharibaanNya dan merupakan tanda syukur yang sejati. Pantas saja jika Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barangsiapa yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia (yang memberi), tidak akan pernah bisa bersyukur kepada Allah".

Akhirnya aku mengerti, seberapa besar pengorbanan yang layak diterima orang lain dan bagaimana sikap yang harus kuambil jika aku mengalami penderitaan atas pengorbanan yang kulakukan terhadap seseorang dan aku juga mengerti, siapa yang lebih berhak menerima pengorbananku. Yaitu orang-orang yang diberi akan memuji Allah dan menghargai setiap nikmat yang mereka terima, tanpa memperdulikan sedikit atau banyaknya, penting atau tidaknya. Dan mereka yang jika diberi akan menyenangkan hati sang pemberi, walaupun tanpa mengucapkan kata apapun.

Namun, benarkah tindakanku ini? Bukankah kita sebagai manusia harus berkorban tanpa pamrih? Biarkan soal penilaian itu kita serahkan kepada Allah? Bukankah jika kita memilah siapa yang akan menerima bantuan kita hanya karena kita merasa nyaman dalam memberi sama dengan mengharapkan pamrih? Pikiranku semakin terjebak dalam kebingungan.

Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas, bagaimanakah sikap baginda Nabi terhadap orang-orang yang seperti ini, karena beliau adalah orang yang tidak pernah berkata tidak jika ada yang meminta kepadanya meskipun orang tersebut selalu memusuhinya?

Diriwayatkan bahwa di sudut pasar Madinah terdapat seorang pengemis Yahudi buta. Hari demi hari, apapbila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata,"Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad dia itu orang gila. Dia itu pembohong dan tukang sihir, apapbila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya".

Setiap pagi Rasulullah mendatanginya dengan membawa makanan dan tanpa berkata sepatah katapun Rasulullah menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis tersebut selalu berpesan untuk tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Hal itu beliau lakukan hingga akhir hayat beliau.

Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi yang buta itu.

Pada suatu hari sesudah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar RA mendatangi rumahnya Aisyah dan bertanya,"Wahai anakku, sunah apakah dari kekasihku yang belum aku kerjakan?". Aisyah menjawab,"Semua sunnah Rasulullah sudah engkau lakukan, wahai ayah. Kecuali hanya satu saja. "

"Apa itu?"

"Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ad disana".

Keesokan harinya Abu Bakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abu Bakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah dan berteriak,"Siapakah kamu?"

Abu Bakar RA menjawab,"Aku orang yang biasanya".

"Bukan! Engkau bukan orang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. "Apabila ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku, selalu menyuapiku makanan yang sudah terlebih dahulu dihaluskannya dengan mulutnya", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu,: Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW".

Setelah mendengar cerita Abu Bakar, ia pun menangis dan kemudian berkata,"Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku dengan makanan setiap pagi, ia begitu mulia".

Akhirnya si pengemis buta mengucapkan kalimah syahadat. Begitulah belas kasih dan kesabaran Rasulullah yang tidak terbatas dan tidak pandang bulu walaupun kepada seorang pengemis Yahudi buta yang selalu memusuhi beliau.

Hatiku terenyuh dan bergetar bila mengingat cerita ini. Itulah contoh sodakoh dan pengorbanan yang ditunjukkan oleh Rasulullah bagi ummatnya. Dan seperti itulah seharusnya kita berkorban dan bersodakoh. Tanpa mengharapkan apapun dan juga tidak mengharapkan ucapan yang baik. Semuanya murni karena kasih sayang dan demi mengharapkan keridoan Ilahi. Aku sadar dari kesalahan penafsiranku dan kurangnya kesabaranku.

"Wahai Tuhanku, Engkaulah yang memiliki rahmad dan belas kasih.

Engkau jualah yang memiliki kemuliaan dan kekuasaan, yang dengannya Engkau limpahkan berkah dan karuniaMu kepada semua ciptaanMu.

Ya Allah, dengan kemuliaanMu yang tidak tertandingi dan kasih sayangMu yang maha Agung, ampunilah ketidak sabaranku atas cobaanMu, emosi dan amarahku atas hal-hal yang aku tidak tahu baik atau buruk akibatnya bagiku.

Ya Allah, lindungilah aku dari ketidakikhlasan dalam sodakoh, cercaan dalam memberi dan kesombongan yang menyertai uluran tanganku dan ampunilah mereka yang menerima tapi mencela, mengambil tapi mengumpat dan meminta tapi menyakitkan hati.

Ya Tuhanku, lapangkanlah hatiku dengan maaf, luaskanlah wawasanku dengan kesabaran dan teguhkanlah hatiku dengan keyakinan atas rahmad dan balasanMu. Amin"

"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu, hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih “ (Surah al-Insan : 8 - 9).

No comments:

Post a Comment