Bismillah

Bismi Allah Arrahman Arrahim

Disini kutuangkan segenap ketukan keyboardku. Semoga melaluinya, semakin tertebarlah keagungan Islam-ku

Sunday, May 10, 2009

Dijamu Allah

Panas terik dan hembusan angin hangat mengguyur seluruh mukaku siang itu, kupercepat langkahku menuju tempat wudu sambil menjinjing tas berisi pakaian ihram. Maklum, pada bulan September begini, suhunya lumayan tinggi di Mekkah. Tadi pagi saya berangkat dari Madinah ke Mekkah menggunakan bis. Tapi karena saya tidak sempat beres-beres akhirnya saya berniat untuk Ihram di Tan'im saja. Setelah mandi dan mengambil wudlu, saya mengenakan pakaian ihram yang terbuat dari kain panjang putih tanpa ada jahitan dan gambar samasekali. Aku termenung sejenak,"Andaikan hati manusia seputih ini, tidak ada dendam, tidak ada benci, tidak ada niat buruk, tidak ada buruk sangka. Betapa indahnya hidup ini". Setelah shalat 2 rakaat saya mulai perjalanan balik ke Mekkah naik angkot sambil bertalbiyah. "Labbaika Allahumma labbaika", Kudengar dan kujawab seruanMu ya Tuhanku. Ini bukan pertama kalinya aku melaksanakan umroh, tapi setiap umroh selalu membawa kenangan sendiri dan perbaikan pada diriku. Tak terasa angkot sudah sampai di dekat Masjidil Haram, karena perjalanan hanya memakan waktu 15 menit saja. Setelah membayar 1 Riyal, saya berjalan dengan tergesa-gesa menuju Masjidil Haram, tidak sabar ingin bertamu kepada Allah, Tuhanku. Tidak terasa, airmataku menetes, bahagia karena rindu yang selama ini tertumpuk di hati, akhirnya bisa terobati. Rindu untuk bersujud langsung di rumah Allah yang Mulia. Sayapun segera thawaf. Sambil berkeliling memutari ka'bah kupanjatkan doa-doa yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Hatiku sepenuhnya menikmati setiap langkah. Betapa dekatnya perasaanku dengan Dia yang menciptakanku. Terik panas padang pasir samasekali tidak kuhiraukan, padahal suhu pada termometer menunjukkan 42C. Terus, kulanjutkan langkahku, kupanjatkan Pujian dan doa kepadaNya. Kubuka mataku, dan aku seolah-olah baru sadar, kalau sudah dikelilingi ribuan orang yang turut thawaf. Berbagai warna dan kebangsaan, berbagai status dan usia. Semuanya berbaur menjadi satu warna tanpa ada yang bisa dibedakan. Semuanya berjalan, berdoa dan mensucikan Allah. Disinilah, di rumah Allah semua orang sederajat dan semua orang kembali ke fitrahnya, yakni hambaNya.

Seusai thawaf, aku berjalan menuju bukit Shafa untuk persiapan melaksanakan sa'i. Sebuah kenangan melintas, ketika aku berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwa. Kenangan tentang Siti Hajar dan nabiyullah Ismail. Ketika Hajar seorang diri berlari-lari dalam terik mentari mencari sesuatu untuk makan dan minum anaknya. Namun tidak ada keputus asaan yang melintas dalam pikiran beliau, karena yakin atas Rahmad Allah. Pikiranku semakin jauh menerawang ke kehidupanku. Betapa seringnya aku merasa putus asa akan rahmad Allah, padahal tidak ada kekurangan sama sekali pada diriku dan Allah terus menerus menganugerahi aku dengan nikmat yang tidak terhitung. Jika dibandingkan apa yang harus dihadapi oleh Nabi Ibrahim serta anak dan istrinya untuk menjalankan perintahNya, cobaan yang kualami samasekali tidak berarti. Tiba-tiba aku merasa sangat malu. Malu karena selalu mengeluh kalau diuji Allah dengan ujian yang tidak seberapa. "Ya Allah, ampunilah kelemahan hamba. Janganlah Engkau salahkan hamba jika hamba lupa atau melakukan kesalahan. Ya Allah, janganlah Engkau memberi beban yang berat seperti beban yang Engkau beri kepada orang-orang sebelum hamba. Ampunilah hamba, kasihanilah hamba ya Allah". Tiba-tiba kulihat seorang nenek tua yang berjalan pelan-pelan dengan sekuat tenaganya pada satu sisi, seolah beliau sudah tidak mampu melaksanakan sa'i namun berusaha untuk tetap melaksanakannya. Kudekati beliau dan kuucapkan salam,"Assalaamu alaikum, ya Um". Kupanggil beliau Um untuk penghormatan terhadap orangtua. "Kenapa anda melaksanakan sa'i sendiri? Dimanakah keluarga anda?", tanyaku dalam bahasa Arab. Beliau menjawab,"Wa'alaikum salaam, siapakah engkau nak?". "Saya Abdullah", kataku dengan menyamarkan namaku menjadi hamba Allah. Nenek itu tersenyum kepadaku,"Engkau pasti bukan orang Arab ya? Darimana engkau?", tanya nenek itu tersenyum."Dari Indonesia, ya Um. Kenapa anda sendirian melaksanakan sa'i? Dimanakah keluarga anda?". "Saya memang sendiri nak, karena tidak ada seorangpun dari keluarga saya yang bisa mengantar. Sedangkan hatiku terlalu kuat merindukan Tuhanku". Berdesir hatiku mendengarnya. Tidak terasa tetes airmataku mengalir. Betapa nenek setua beliau, masih berusaha kuat bertamu kepada Allah, meskipun tubuhnya sudah hampir tidak memungkinkan dan tidak ada seorangpun dari keluarga beliau yang mau mengantar. Kupandang sekeliling dan kulihat ada petugas keamanan di sekitar pintu masuk. "Ya Um", kataku, "maukah anda menunggu sejenak disini agar bisa kuambilkan kursi roda agar anda bisa melaksanakan sa'i dan berdoa dengan lebih tenang?". Tanpa memperdulikan ucapan si nenek, aku berlari menuju ke petugas untuk meminjam kursi roda. Sekembalinya ke nenek tersebut, kubantu dia duduk dalam kursi roda dan kudorong kursinya menuju Shofa untuk melanjutkan ibadah Sa'i. Setelah tahallul usai, yang menandakan selesainya umrohku kali ini. Kemudian kuhampiri nenek tersebut yang masih terduduk di kursi roda. Rupanya beliaupun sudah selesai tahallul. Aku berjongkok di hadapan beliau sambil bertanya,"Ya Um, akankah anda segera pulang ataukah anda akan berada disini dulu?". Si nenek menjawab,"Aku akan pulang nak, hatiku telah lega karena bisa bertemu dengan Allah". "Kalau begitu, ijinkan aku mengantar anda ke kendaraan yang bisa mengantar anda pulang. Dimanakah rumah anda ya Um?", tanyaku. "Di Ummul Qura' nak". Kudorong kursi rodanya keluar dari masjidil haram, setelah sejenak mencari-cari sandalku dan sandal beliau akhirnya kami sampai di pemberhentian taksi. Kupanggil salah satunya dan kukatakan agar membawa ibu ini kerumah beliau. Tidak lupa, kuberi uang 50 riyal buat ongkosnya. Bukankah sabda Rasulullah, kalau membantu orang harus sepenuhnya? Ketika pintu mobil akan kututup, nenek itu memegang tanganku. "Terima kasih banyak ya nak atas bantuanmu, sungguh meski aku tidak mengenalmu. Aku merasa seolah-olah memiliki engkau sebagai anakku. Semoga berkah dan rahmad Allah senantiasa dilimpahkan kepadamu nak". "Amin, amin. Terima kasih atas doanya ya Um. Dan hati-hati di jalan", ucapku. Taxipun melaju dengan pelan. Namun sekilas aku sempat melihat tangan si nenek terangkat keduanya, tampaknya beliau sedang berdoa. Akupun bergegas masuk kembali ke masjidil haram. Setelah mengambil wudlu lagi, aku kemudian melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Seusai shalat, aku mempertimbangkan apakah aku akan kembali ke hotel atau disini saja. Akhirnya kuputuskan untuk menetap saja di masjid hingga waktu magrib. Kuambil mushaf al-karim, dan kubaca ayat-ayatnya. Ketika bacaanku mencapai ayat "dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan". Aku terdiam. Berkecamuk pikiranku dengan berbagai kenangan di masalalu. Ketika aku masih menjalankan hal-hal yang fasik. Ketika aku tidak takut pada dosa dan ketika aku meremehkan larangan-larangan Tuhanku. Bukankah setiap kali kita melakukan sebuah dosa, berarti kita mengkhianati nikmat Allah. Sedangkan tiap nafas, makan dan minum yang kita masukkan dalam tubuh, disitu ada rahmad Allah yang akan ditanyakan kembali kegunaannya oleh Allah. Aku gemetar karena takut, takut kalau-kalau azab Allah akan ditimpakan kepadaku karena semua dosaku. Aku sujud, membaca istighfar berkali-kali. Air mataku meleleh dengan deras. "Ya Allah, ya Tuhanku. Ampunilah dosa-dosa hamba. Baik yang disengaja ataupun tidak. Ya Allah, dosaku tidak terhitung bahkan oleh aku sendiri. tapi aku tahu pengampunanMu melampaui segalanya. Ya Allah, dengan kemuliaan wajahMu yang Arsy sendiri tidak mampu melihatnya dan dengan kelemah lembutanMu yang atas dasarnya Engkau sayangi semua makhlukmu, ampunilah dosa hamba ya Allah dan selamatkanlah hamba dari neraka". Kubangkit dari sujudku dan kubaca kembali ayat-ayat quran. Namun, suara seolah tidak mampu keluar dari tenggorokanku, sehingga kuletakkan mushaf kembali. Bertepatan dengan itu, terdengarlah azan Magrib. Alhamdulillah. Shalat magrib sudah tiba. Kuambil segelas air zamzam dari termos yang bertuliskan dingin. Kupanjatkan doaku kepada Allah, "ya Allah, bagiMu aku berpuasa. KepadaMu aku beriman dan atas rizkiMulah aku berbuka". Betapa segarnya tenggorokan ketika air yang penuh berkah itu melintasi tenggorokan, "Alhamdullah". Seusai shalat, aku berjalan keluar. Kulihat jam, masih belum waktunya untuk makan malam di hotel. Sebab biasanya makan tersedia setelah shalat Isya'. Akhirnya setelah melihat keliling, kuputuskan untuk membeli makan di luar dulu. Karena perut sudah lumayan sakit menahan lapar, apalagi setelah perjalanan jauh tadi pagi. Ketika sandal hendak kukenakan, tiba-tiba ada seorang laki-laki menyentuh pundakku dan bertanya dalam bahasa Arab non amiyah,"Andakah Abdullah dari Andonesia?". Kujawab, "Iya betul. Siapakah anda ini dan ada keperluan apakah anda dengan saya?". Orang itu menjawab,"Kami disuruh majikan kami untuk menyampaikan buka puasa dan makan anda mulai malam ini hingga anda meninggalkan kota Mekkah", sahutnya. Aku terheran-heran, seingatku tidak ada seorangpun yang aku kenal di Mekkah ini. Kok tiba-tiba ada yang mau menjamu aku. Akupun bertanya,"Tidak salahkah anda, barangkali Abdullah yang anda maksud bukan saya, karena seingat saya, tidak ada penduduk Mekkah yang saya kenal". Orang itu tersenyum seraya menjawab, "Tidak, orangnya adalah anda, majikan saya kenal anda meskipun anda tidak kenal dia. Karena itu, dia memerintahkan saya untuk membawakan makanan ini pada anda". Kumelihat di belakangnya dan masyaAllah, subhanAllah pujiku. Kulihat setidaknya ada 10 nampan besar berisikan aneka makanan dan beberapa kardus berisi minuman sedang dibawa oleh beberapa orang laki-laki. Akupun bingung tentang dimana aku harus meletakannya. tapi tampaknya orang itu sudah professional. diaturnya makanan-makanan serta minuman itu, sehingga mirip lesehan makanan mewah. Kemudian setelah selesai, orang itu pamit dan berkata,"Ini adalah rahmad bagi anda dan nantikan kami lagi pada saat anda lapar lagi nanti". Akupun duduk sendirian menghadapi jejeran makanan yang sedemikian panjang sambil dikerumuni orang-orang yang menonton. Aku masih termanggu-manggu siapakah gerangan yang mengirimkan semua ini dan darimana dia tahu kalau aku sedang berpuasa. Akhirnya karena semua arah buntu, akupun mengajak mereka yang sedang menonton untuk ikutan makan. Tidak lupa, kupanggil para pengemis dan orang duafa yang ada di sekitar untuk turut mencicipi. Dengan ucapan bismillah kusuapkan makanan ke mulutku sambil tidak lupa berkali-kali hatiku mengucapkan hamdalah ke hadirat Allah atas nikmat ini.

"Kalau engkau bersyukur atas nikmatKu, niscaya pasti akan Kutambahkah nikmat itu"

No comments:

Post a Comment