Bismillah

Bismi Allah Arrahman Arrahim

Disini kutuangkan segenap ketukan keyboardku. Semoga melaluinya, semakin tertebarlah keagungan Islam-ku

Tuesday, May 19, 2009

Pemurah hati

Tersebut, pada suatu masa ada seorang anak yang taat ibadah kepada Allah dan berhati lembut penyayang. Semenjak lulus dari sekolah dasar, dia telah dipondokkan oleh orangtuanya jauh dari kampung halamannya di Jawa Timur ke Bone Sulawesi Selatan. Dia dipondokkan oleh orangtuanya hanya untuk satu alasan, menjadi penghafal dan pengamal Al-Quran.
Tahun demi tahun dilaluinya di pesantren, jauh dari keluarga dan orangtua. Pada masa itu, komunikasi telpon dari Bone keluar masih sangat sulit. Bahkan suratpun sampainya setelah 7 hari dikirim. Pada saat-saat liburan, dia hanya bisa menyaksikan teman-temannya berbahagia karena bisa pulang ke kampung halamannya sedangkan dia sendiri memilih menetap di pesantren karena tidak memiliki biaya untuk pulang.
Waktu di pesantren dihabiskannya untuk semakin memperdalam hafalan Qurannya dan mempelajari ilmu-ilmu fiqih, bahasa arab dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Sifatnya yang pendiam dan taat membuatnya disukai oleh Kiainya sehingga dia memperoleh perhatian yang lebih daripada yang diperoleh teman-teman sepesantrennya. Sayangnya, perhatian ini seringkali menimbulkan buruk sangka dan iri hati di kalangan mereka. Tidak jarang dia disakiti dan diancam oleh beberapa temannya, namun semua itu tidak pernah dimasukkan dalam hati, karena dia percaya bahwa disakiti orang tidak akan selesai hanya dengan disakiti dan kesabaran dalam menghadapi cobaan adalah bagian rahmad Allah kepadanya.
Al-kisah, setelah hafalan Qurannya selesai dan semua pendidikan di pesantren tersebut telah diselesaikannya selama 4 tahun, tibalah waktunya untuk kembali melanjutkan hidupnya. Tanpa diduga, Allah yang Maha Welas Asih berkenan memberikan hadiah dengan kiriman tiket pesawat untuk pulang ke Jawa Timur dari orangtuanya. Alangkah bahagianya dia, karena selain akan segera bertemu orangtuanya yang telah terpisah darinya selama 4 tahun, dia juga akan merasakan perjalanan dengan menumpang pesawat. Sesuatu yang sering diimpikannya sejak dahulu.
Setelah berpamitan dengan Kiainya dan istri beliau, diapun berangkat menuju Ujung Pandang dengan menggunakan bis ditemani dengan salah seorang ustadnya yang juga akan kembali ke Jawa. Perjalanan menuju Ujung Pandang memakan waktu 8 jam, dan setelah tiba disana mereka segera mencari losmen untuk menginap malam itu, karena keberangkatan mereka baru besok harinya.
Malam itu, seusai shalat isya, ustadnya mendekati ingin mengajak bicara. “Dik, saya ingin membicarakan sesuatu dengan kamu”.
“Apa ustad, silahkan saja”, ujar anak tersebut.
“Begini dik, bapak saya sedang sakit keras di Semarang. Saya khawatir bahwa umur beliau tidak akan lama lagi”, cerita sang ustad.
Anak itupun termanggut-manggut mendengar cerita sang ustad, “Lalu apa yang dapat saya bantu ustad?” tanyanya.
Sang ustadpun berujar,”Begini dik, kalau boleh saya ingin menukar tiket kapal laut saya dengan tiket penerbangan adik. Nanti jika saya ada rizki, akan saya kembalikan sisa biayanya kepada adik. Maafkan permintaan saya, karena saya sungguh khawatir akan kesehatan dan usia ayah saya”.
Sang anakpun terdiam. Dalam hatinya berkecamuk berbagai pikiran. Dia ingin sekali membantu dan menyerahkan tiketnya, namun keinginan untuk terbang dengan pesawat yang selama ini diimpikannya dan sudah depan mata sangatlah menggoda.
Sang ustadpun berucap,”Tapi kalau adik keberatan, tidak masalah kok”.
Akhirnya, meski dengan berat hati, sang anak berkata,”Jika ini bisa membantu ustad untuk segera menemui ayah ustad, silahkan. Saya akan menggunakan tiket kapal ustad untuk ke Jawa”.
Dan begitulah, merekapun saling tukar tiket dengan diiringi janji sang ustad bahwa biayanya akan dikembalikan kepadanya. Namun, dalam hati sang anak, dia telah mengikhlaskan pemberian itu karena Allah SWT dan karena kasih sayang.
Keesokan harinya merekapun berpisah, dengan diiringi doa sang anak untuk kesembuhan dan kesehatan ayahanda sang ustad. Diapun naik ke Pete-pete (Angkot, red.) menuju ke pelabuhan. Disana, kapal yang akan mengantarnya ke Jawa Timur telah menanti. Setelah cekin, diapun menaiki tangga kapal. Sejenak dia terdiam mempertimbangkan dimana dia akan tidur malam ini, karena kelas ekonomi di kapal laut, sama artinya dengan rebutan tempat tidur. Dan hal terakhir yang ingin dilakukannya adalah berebut tempat tidur dengan seseorang. Akhirnya dia memutuskan untuk menaruh barang-barangnya di bawah tangga kapal dan melihat pelabuhan dari atas.
Dilihatnya orang naik turun bergantian, berbagai usia dan warna. Tiba-tiba dia dikagetkan dengan sebuah suara, “Mau ke Jawa juga mas?”. “Oh ya, maaf saya tidak tahu”, jawab si anak. Merekapun berjabatan tangan, kenalan. Orang itu bernama Robert dari Makassar.
“Ke Jawanya dalam rangka urusan apa mas?”, tanya Robert.
“Pulang kampung halaman, kalau mas sendiri?”
“Untuk berkunjung keluarga”, jawab Robert.
“Oh begitu, di Jawa mana mas?” tanya si anak.
“Di Surabaya. Kalau mas sendiri?”
“Di Tulung Agung”
“Oh begitu ya..”
Merekapun ngobrol kesana kemari, akhirnya merekapun menjadi akrab kayak teman lama.
Tiba-tiba Robert bertanya,”mas nanti malam tidurnya dimana?”
Si anak menjawab,”Belum tau mas, sebab saya belum cari”
“Bagaiman kalau sekamar dengan saya, sebab saya satu kamar sendiri”
“Gak apa apa kah mas?”
Robert menjawab,”Tenang saja, oom saya adalah kapten dari kapal ini. Karena dia yang memimpin kapal, praktis malam ini kamar hanya ditempati oleh saya. Karena mas tidak ada kamar, bagaimana kalau bersama saya saja di kamar oom”
Alhamdulillah pikir sang anak, dan diapun mengiyakan. Malam itu, sang anak menikmati fasilitas kapten kapal, makanan yang enak dan tempat tidur yang nyaman selama perjalanan selama sehari semalam dari Ujung Pandang ke Surabaya. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya apalagi dengan tiket kapal kelas ekonomi.
Keesokan harinya setibanya di Surabaya, dia berpamitan dengan Robert dengan diiringi terima kasih yang banyak atas kebaikan yang diterimanya.
Sang anakpun melanjutkan perjalanannya ke Tulung Agung yang berjarak 280km dari Surabaya. Dari pelabuhan Tanjung Perak, dia mengambil bis ke terminal Bungurasih. Dari sana, dia mengambil bis langsung jurusan Surabaya-Tulung Agung. Setelah mengatur tempat duduknya di samping jendela, diapun melantunkan shalawat nabi serta doa musafir. Bis perlahan-lahan meninggalkan terminal. Dalam perjalanan dia sepuas-puasnya menikmati pemandangan setiap daerah yang dilewati. Rasa syukur meliputi hatinya karena setelah sekian lama, akhirnya dia berkesempatan untuk kembali ke kampung halaman. Ketika sedang asyiknya melamun, tiba-tiba dia dikagetkan dengan sebuah suara,”Maaf dik, apakah tempat ini kosong?”
Seorang wanita separuh baya bertanya kepadanya.
“Iya bu, silahkan saja”, kata anak tersebut mempersilahkan.
Wanita itu kemudian menempati kursi kosong di sampingnya.
“Hendak kemanakah adik? Kok kelihatanya sendiri?”, tanya wanita tersebut.
“Saya hendak kembali ke Tulung Agung”, jawabnya.
“Oh, darimana dik?”
“Dari Sulawesi bu”, jawab si anak.
“Kok jauh sekali dan sendirian lagi?”, tanya si wanita heran.
“Iya bu, saya dahulu mondok disana dan sekarang saya sedang dalam perjalanan pulang”.
“Berapa lama adik mondok?”
“Hingga sekarang sudah 4 tahun bu”, jawab anak itu.
“Masya Allah”, gumam wanita tersebut. “Dan selama itu kamu tidak pernah pulang?”
“Tidak bu”, jawabnya.
Tak terasa perjalanan bis sudah mencapai Jombang. Pembicaraan diantara merekapun semakin akrab, hingga tanpa terasa, wanita tersebut menjadi sangat tertarik dengan sejarah anak itu. Sayangnya, perjalanan sudah mendekati Kediri, dan wanita itu harus turun. Padahal dia belum puas mendengar seluruh cerita anak itu. Akhirnya wanita tersebut berkata, “Begini dik, saya masih belum puas mendengar seluruh cerita sejarah adik. Bagaimana jika kita turun sejenak di terminal Kediri ini dan makan di warung sambil adik lanjutkan cerita, dan nanti seluruh biaya perjalanan bis adik akan saya tanggung”.
Anak itupun terdiam sejenak, dan kemudian menjawab,”Baiklah bu, kalau ibu berkehendak begitu”.
Merekapun turun dari bis dan berhenti di sebuah warung makan, dimana sang anak melanjutkan berbagai kisah dirinya selama di pesantren.
Wanita itu begitu terhanyut dengan kisah-kisah anak itu, sehingga kadang dia bertasbih sendiri dan kadangpula menangis.
Pada akhir ceritanya, tiba-tiba wanita itu berdiri dan memeluknya. Diperlakukan seperti itu, tentu saja anak tersebut kaget.
Namun karena wanita itu masih menangis, diapun membiarkannya hingga dia reda dari tangisnya. Ternyata wanita tersebut sudah lama menikah namun belum dikaruniai anak. Dan diapun berharap, jika suatu saat Allah menganugerahkan seorang anak dalam rumah tangganya, dia ingin anak itu seperti si dia.
Anak tersebut mengamini kehendak wanita itu dan mendoakan dirinya pula. Setelah itu merekapun berpisah dan wanita itu tidak lupa memberikan jumlah uang yang luar biasa banyaknya kepada anak itu. Anak itupun menerimanya dengan penuh rasa syukur dan terima kasih.
Perjalanan selanjutnya ke Tulung Agung tidak memakan waktu lama, karena jarak Tulung Agung –Kediri cukup dekat.
Hati sang anak berdebar-debar, menanti wajah sang ayah dan ibu yang telah sekian lama tidak bertemu. Ketika sudah memasuki terminal Tulung Agung, diapun turun dari bis. Alangkah senangnya melihat ibu, bapak dan adik-adiknya sudah hadir menjemput.
Begitulah, akhirnya anak tersebut kemudian melanjutkan pendidikannya ke SMA dan melanjutkan ke sebuah universitas ternama di Kota Malang dan selalu berpedoman pada kebaikan hati untuk menentukan setiap langkah hidupnya.

No comments:

Post a Comment